Senin, 08 Oktober 2012

"Mainstream"


Apa yang Salah?
ilustrasi: Dika dan Reksa, mahasiswa Ilmu Komunikasi di suatu perguruan tinggi X semester lima. Mereka berdua berambut gondrong dan sedikit acak-acakan gaya anak muda jaman sekarang. Dika bertattoo dan memakai piercing di lidahnya sedangkan Reksa ditindik di daun telinga dan sudut bibir bawah sebelah kanan, tanpa tattoo. Melihat gayanya, kedua anak muda ini sudah dapat dipastikan merokok dan suka minuman beralkohol.
Tapi…
“gue nggak minum, sori. Rokok aja makasih,” jawab Dika mantab ketika ditawari temennya minum sambil mencomot sebatang rokok dan menyulutnya.
“guee ngisep cupacup aja masbro hehe. Makasih,” tolak Reksa.
Yes, mereka berdua bersih. Dika aja sih yang masih bisa ngerokok, tapi bukan maniak. Cuma buat menghargai kebersamaan temen-temennya. Beda sama Reksa yang sama sekali gak ngerokok apalagi minum.
Mereka juga masih inget sama agamanya. Dika nasrani, sedangkan Reksa muslim. Tiap sabtu atawa minggu si Dika datang telat kalo lagi kumpul, ke gereja dulu. Tiap ada adzan, Reksa langsung meluncur ke musola terdekat sambil sebelumnya ngobraki temen-temennya biar ikut solat.
Keduanya membuat teman-teman yang lain berdecak heran, tapi ya kagum. Ko bisa-bisanya penampilan sangar tapi ngga sangar.
Dont judge the book by its cover. Mereka emang sangar di luar, tapi pribadi mereka gak sesangar itu. Mereka mungkin memang melanggar ‘aturan’ , norma yang berlaku di masyarakat. Mereka memang ngga mengikuti arus secara 'cover'. Mereka jadi diri mereka sendiri. Hidup bagi mereka itu pilihan. Gue boleh dong sangar kaya gini, yang penting ga bikin rusuh dan ngerusak diri gue sendiri, apalagi lingkungan kan? Pilihan gue cuma ngikuti arus mainstream dan gatau arus ini bawa gue kemana, ATAU gue jadi diri gue sendiri dan mau jadi seperti apa. No one to blame but me kalo terjadi sesuatu yang salah. Nah kalo gue ikut arus bukan cuma gue yang disalahin, lingkungan juga. Rame. Selain itu, bukannya kita ini beda satu sama lain? Lagian gue nyaman kaya gini. Kalo orang laen merasa terancam dengan penampilan gue yang begini, coba buktiin ketakutan yang berlebihan itu. Kenapa harus ngerasa terancam kalo gue GAK pernah menyentuh kehidupannya ? dont be such a freak lah.
Kurang lebih gitu deh pikiran mereka.
Mereka pernah nanya ke diri mereka sendiri tentang hal ini, “kalo gue seperti ini, ada cewe yang mau jadi bini gue gak ya ? apa ada camer yang mau nerima cowo gondrong bertato dan pake tindik gini?”
Gak munafik, walaupun mereka enjoy banget sama penampilannya, mereka juga kawatir kalo paradigma miring masyarakat itu mempengaruhi kesempatannya untuk mendapatkan jodoh.
Tapi, bukannya santai aja kalo orang itu berpendidikan ? mereka kan gak punya pikiran norak dan sedangkal itu ?
Setinggi-tingginya pendidikan seseorang kalo bukan orang yang terbuka dengan perbedaan dan orang kolot yah dikit-dikit pasti terpengaruh sama paradigma jadul itu. Orang kalo udah terpengaruh walaupun sedikit, antisipasinya bisa lebai banget, bahkan menolak. Jaman sekarang, orang kan pada konformitas semua. Apa konformitas? Konformitas itu bahasa gampangnya ikut-ikutan. Kaya misalnya ada 5 orang yang dites, orang pertama yang lumayan pinter jawab A, yang 4 laennya akan cenderung jawab A juga, gatau jawaban itu salah apa bener. Yang penting kan, jawaban gue sama kaya orang pinter itu. Yah kurang lebih begitu contoh ngaconya.
Oke back to Duo sangar tadi. Dika dan Reksa cuma contoh kecil dari kisah manusia yang ‘dipinggirkan’ karena ‘cover’ mereka, karena idealisme yang dianut, karena mereka jadi diri sendiri. Miris kan? Sejak kapan jadi diri sendiri bisa membuat orang itu dipandang sebelah mata? Fak men.
Memang, kalo bahas norma dan peraturan, kita gabisa apa-apa, gak ikut bikin. Yang bikin aturan-aturan itu juga sebenernya bukan manusia sendiri sih, tapi alam semesta, dzat yang metafisik. Tapii juga, alam gak melarang kita mau jadi seperti apa. Ya itu tadi, life is an option. You can choose, pick one of many options, or… take them all kalo kalian sanggup menjalani ‘kepribadian ganda’
Ngebahas ini jadi inget tugas esai matakuliah Filsafat Manusia tentang otentisitas. Yes, kita sulit menjadi otentik yang utuh selama peraturan-peraturan itu terlalu mengikat. Tapi sebenernya, semua aturan itu bisa disiasati. Kita bisa ngejalanin semua tanpa harus mengorbankan identitas kita. Masalahnya hanya paradigma atau cara pandang masyarakat yang sudah terlanjur menjamur, melekat bagai parasit.
Negara kita ini kan negara hukum, jalani aja lah sesuai negara hukum. Jangan dicampur sama nilai yang lain. Itu udah urusan masing-masing kepercayaan dan individu. Udah diatur semua dalam UU. Sekarang tengok, ada UU yang ngelarang cowok berambut gondrong ? UU yang ngelarang pake tattoo atau piercing? Kalo ada yaa penjara penuuuh, pengadilan sumpek, semakin kaya akan masalah selain korupsi, hancur deh. Kalopun ada juga, UU itu melanggar hak asasi manusia. Hak kita kan atas tattoo, piercing, dan lain-lain? Selama ngga melanggar hukum aja gapapa sih. Katanya gamau rame ? kalo dikit* disangkut-pautin sama hukum dan nilai diluar hukum Negara yah bakal rame mulu.
cuma yaah, percaya deh ngga selamanya mereka 'bertahan' dengan 'cover' seperti itu, mereka juga akan sadar tuntutan dimana nanti ada satu masa mereka harus give some, to get more. itulah kalo udah masuk sistem.